Panitia lalai meneliti dokumen HPS. Negara dirugikan, pemborong diuntungkan.

PANITIA PENGADAAN BARANG/JASA MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI, KARENA TIDAK MENELITI DOKUMEN HPS DAN MENYEBABKAN KEUNTUNGAN BAGI PEMBORONG DAN MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA

Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah melakukan pengadaan 12 mikroskop binokuler dengan anggaran Rp475,2 juta pada tahun 2006. Para terdakwa, yaitu H. Suarjana, Muhammad Hatta, dan Saimi adalah panitia pengadaan barang/jasa yang bertanggung jawab dalam proyek ini. Dalam proses pengadaan, panitia tidak melakukan survei harga yang benar dan hanya menjiplak Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) yang akan dijadikan acuan dalam penawaran. Harga satuan mikroskop dalam dokumen proyek ditetapkan Rp39,6 juta per unit, padahal harga asli yang dikeluarkan oleh agen tunggal hanya Rp13 juta per unit.

Setelah pelelangan dilakukan, M. Orryza Himawan selaku Direktur CV Afiat Karya dinyatakan sebagai pemenang lelang. Kemudian dibuat perjanjian pemborongan antara Orryza dengan Abdul Harris selaku pemimpin kegiatan, dengan anggaran Rp453 juta untuk pengadaan 12 unit mikroskop. Namun, karena adanya perbedaan yang signifikan antara Harga Perkiraan Sendiri dengan nilai realisasi, yakni Rp.39,6 per unit Mikroskop dalam HPS dan Rp13 juta nilai realisasi, para Terdakwa bersama Abdul Haris telah menguntungkan Orryza dan merugikan negara sekitar Rp116,7 juta. Walaupun demikian, Pengadilan Negeri Praya menyatakan Para Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, dan membebaskan mereka.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat Judex Facti telah salah menerapkan hukum dalam menafsirkan kewajiban untuk membuat HPS, salah satunya bahwa pembuatan HPS wajib mempertimbangkan harga barang dikeluarkan oleh agen tunggal, di mana harga 1 unit mikroskop dianggarkan Rp39,6 juta, sedangkan harga yang dikeluarkan agen tunggal adalah Rp13 juta. Untuk itu, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Praya dan menyatakan Para Terdakwa melakukan “korupsi secara bersama-sama” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 UU 20/2001 jo. UU 31/1999 dan dihukum pidana penjara selama 1 tahun, serta pembayaran denda sebesar Rp50 juta.

→ Putusan Mahkamah Agung 1410 K/Pid.Sus/2009, tanggal 3 Februari 2010.

Sumber:
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/04cf11abffd1122d8282d089ab14b44a.html

Salam Pancasila,
Fredrik J. Pinakunary Law Offices

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *